BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Dalam dunia medis, donor darah berarti orang yang menyumbangkan darah kepada orang lain dengan tujuan untuk menyelamatkan jiwa orang yang membutuhkan. Ulama fikih menetapkan bahwa perbuatan menyumbangkan darah dibolehkan untuk membantu sesama manusia yang amat membutuhkan. Dalam ajaran Islam, disamping bertujuan untuk kemaslahatan umat manusia, juga bertujuan untuk menghindari segala bentuk kemudaratan atau yang merugikan manusia.
Menyelamatkan nyawa orang lain adalah salah satu bentuk pemeliharaan terhadap ad-daruriyyat al-khamsah (lima kebutuhan pokok) yang dituntut oleh syariat Islam. Berkaitan dengan darah hasil bekam, ulama Mazhab Hanafi mengatakan bahwa Abu Tayyibah, tukang bekam Nabi SAW, sengaja meminum darah hasil bekam dari Nabi SAW dengan tujuan mendapatkan berkah dari darah tersebut. Padahal Nabi SAW melarang untuk meminumnya. Menurut Mazhab Hanafi, larangan tersebut disebabkan darah hasil bekam tersebut sudah diletakkan sebelumnya dalam sebuah bejana, sehingga darah itu sudah terpisah dari tubuh.
Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan bahwa di sebagian daerah, khususnya di daerah panas, diperlukan penggantian darah tubuh seseorang untuk menjaga stamina tubuhnya. Dengan demikian, berbekam diperlukan agar darah menjadi baru kembali. Upaya memperbarui darah tersebut, menurut Abdus Salam Abdur Rahim As-Sakari, di zaman modern dilakukan dengan menyumbangkan (diambil) darahnya dan darah yang diambil tersebut dapat dimanfaatkan untuk menyelamatkan nyawa orang yang membutuhkannya.
Organ atau jaringan tubuh yang akan dipindahkan dapat diambil dari donor yang hidup atau dari jenazah orang yang baru meninggal dimana meninggal sendiri didefinisikan kematian batang otak. Organ-organ yang diambil dari donor hidup seperti : kulit ginjal sumsum tulang dan darah (transfusi darah). Organ-organ yang diambil dari jenazah adalah jantung,hati,ginjal,kornea,pancreas,paru-paru dan sel otak. Semua upaya dalam bidang transplantasi tubuh tentu memerlukan peninjauan dari sudut hokum dan etik kedokteran
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Pengertian
1. Transfusi Darah
Transfusi darah adalah proses mentransfer darah atau darah berbasis produk dari satu orang ke dalam sistem peredaran darah orang lain. Transfusi darah dapat menyelamatkan jiwa dalam beberapa situasi, seperti kehilangan darah besar karena trauma, atau dapat digunakan untuk menggantikan darah yang hilang selama operasi.
Transfusi darah juga dapat digunakan untuk mengobati anemia berat atau trombositopenia yang disebabkan oleh penyakit darah. Orang yang menderita hemofilia atau penyakit sel sabit mungkin memerlukan transfusi darah sering. Awal transfusi darah secara keseluruhan digunakan, tapi praktek medis modern umumnya hanya menggunakan komponen darah.
Transfusi Darah adalah pemindahan darah atau suatu komponen darah dari seseorang (donor) kepada orang lain (resipien). Transfusi darah yang paling aman adalah dimana donor juga berlaku sebagai resipien, karena hal ini menghilangkan resiko terjadi ketidakcocokan dan penyakit yang ditularkan melalui darah.
Transfusi Darah adalah pemindahan darah atau suatu komponen darah dari seseorang (donor) kepada orang lain (resipien).Donor unit darah harus disimpan dalam lemari es untuk mencegah pertumbuhan bakteri dan memperlambat metabolisme sel. Transfusi harus dimulai dalam 30 menit setelah unit telah diambil keluar dari penyimpanan dikendalikan.
Transfusi diberikan untuk:
• meningkatkan kemampuan darah dalam mengangkut oksigen
• memperbaiki volume darah tubuh
• memperbaiki kekebalan
• memperbaiki masalah pembekuan.
Sebelum darah diberikan, rincian pribadi pasien dicocokkan dengan darah untuk ditransfusikan, untuk meminimalkan risiko reaksi transfusi. Kesalahan administrasi merupakan sumber signifikan dari reaksi transfusi dan upaya telah dilakukan untuk membangun redundansi ke dalam proses pencocokan yang terjadi di samping tempat tidur.
Darah ini paling sering disumbangkan sebagai seluruh darah dengan memasukkan kateter ke dalam vena dan mengumpulkan dalam kantong plastik (dicampur dengan antikoagulan) melalui gravitasi. Darah yang dikumpulkan ini kemudian dipisahkan menjadi komponen-komponen untuk membuat penggunaan terbaik dari itu. Selain dari sel darah merah, plasma, dan trombosit, produk darah yang dihasilkan komponen juga termasuk protein albumin, faktor pembekuan konsentrat, kriopresipitat, berkonsentrasi fibrinogen, dan imunoglobulin (antibodi). Sel darah merah, plasma dan trombosit juga dapat disumbangkan individu melalui proses yang lebih kompleks yang disebut apheresis.
Di negara maju, sumbangan biasanya anonim kepada penerima, namun produk dalam bank darah selalu individual dapat dilacak melalui siklus seluruh donasi, pengujian, pemisahan menjadi komponen-komponen, penyimpanan, dan administrasi kepada penerima. Hal ini memungkinkan pengelolaan dan penyelidikan atas penularan penyakit transfusi diduga terkait atau reaksi transfusi. Di negara berkembang donor kadang-kadang khusus direkrut oleh atau untuk penerima, biasanya anggota keluarga, dan pemberian segera sebelum transfusi.
2. Transplantasi Organ
Transplantasi adalah perpindahan sebagian atau seluruh jaringan atau organ dari satu individu pada individu itu sendiri atau pada individu lainnya baik yang sama maupun berbeda spesies. Saat ini yang lazim di kerjakan di Indonesia saat ini adalah pemindahan suatu jaringan atau organ antar manusia, bukan antara hewan ke manusia, sehingga menimbulkan pengertian bahwa transplantasi adalah pemindahan seluruh atau sebagian organ dari satu tubuh ke tubuh yang lain atau dari satu tempat ke tempat yang lain di tubuh yang sama. Transplantasi ini ditujukan untuk mengganti organ yang rusak atau tak berfungsi pada penerima dengan organ lain yang masih berfungsi dari pendonor.
Transplantasi organ adalah proses pendonoran organ tubuh kepada orang yang membutuhkan organ tersebut demi menunjang hidupnya. Orang yang mendonorkan organnya disebut pendonor dan orang yang menerimanya disebut resipien. Sebenarnya tujuan dari transplantasi organ ini baik, yaitu menunjang hidup sang resipien. Biasanya organ tubuh yang didonorkan adalah jantung, ginjal, dan mata.
Berikut terdapat empat jenis transplantasi
a. Transplantasi Autograft Yaitu perpindahan dari satu tempat ketempat lain dalam tubuh itu sendiri,yang dikumpulkan sebelum pemberian kemoterapi.
b. Transplantasi Alogenik Yaitu perpindahan dari satu tubuh ketubuh lain yang sama spesiesnya,baik dengan hubungan keluarga atau tanpa hubungan keluarga.
c. Transplantasi Isograf Yaitu perpindahan dari satu tubuh ketubuh lain yang identik,misalnya pada gambar identik.
d. Transplantasi Xenograft Yaitu perpindahan dari satu tubuh ketubuh lain yang tidak sama spesiesnya.
Menurut Cholil Uman (1994), Pencangkokan adalah pemindahan organ tubuh yang mempunyai daya hidup yang sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi dengan baik, yang apabila apabila diobati dengan prosedur medis biasa. Harapan klien untuk bertahan hidupnya tidak ada lagi
B. Transfusi Darah dan Transplantasi Organ Menurut Pandangan Islam
1. Transfusi Darah
Darah yang sudah terpisah dari tubuh hukumnya najis dan karena najis, tidak boleh dimanfaatkan. Namun, cara yang ditempuh ahli medis dengan transfusi darah, menurut AbdusSalam Abdur Rahim As-Sakari, ulama fikih kontemporer dari Mesir, tidak demikian. Transfusi darah dilakukan melalui alat khusus yang bisa memindahkan darah seseorang kepada orang lain tanpa mengubah sedikit pun zat-zat darah tersebut dan darah itu belum terpengaruh sama sekali oleh udara; karena, meskipun darah itu dipindahkan dahulu ke dalam tabung, tabung tersebut adalah tabung khusus yang telah steril. Oleh karena itu, darah itu masih tetap sama sebagaimana dengan darah yang terdapat dalam tubuh donor. Dengan demikian, darah dalam tabung itu tidak bersifat najis.
Menyumbangkan darah kepada orang lain yang amat membutuhkannya, menurut kesepakatan para ahli fikih, termasuk dalam kerangka tujuan syariat Islam, yaitu menghindarkan salah satu bentuk kemudaratan yang akan menimpa diri seseorang. Oleh sebab itulah, ulama fikih menetapkan bahwa perbuatan menyumbangkan darah termasuk dalam tuntutan Allah SWT dalam Surah Al-Maidah (5) ayat 2, “… dan tolong-menolong kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…”
Selain ayat di atas, ulama fikih juga mendasarkan pendapat mereka kepada tindakan Rasulullah SAW dalam berbekam (HR, Bukhari dari Anas bin Malik). Yang dimaksud dengan berbekam, menurut para ahli fikih, adalah mengeluarkan atau mengisap darah dari bagian-bagian anggota tubuh, misalnya dari kuduk, untuk membersihkan darah dan agar mendapatkan darah baru lagi. Tujuan berbekam adalah untuk menurunkan tekanan darah sekaligus menghilangkan rasa sakit kepala. Dalam pemikiran ulama hadis, berbekam itu adalah salah satu bentuk mengeluarkan darah yang digunakan untuk pengobatan sebagian penyakit yang ada dalam tubuh.
Darah yang dikeluarkan itu sama sekali tidak digunakan. Tindakan itu telah dilakukan beberapa kali oleh Rasulullah SAW. Karenanya, ulama fikih menganalogikan perbuatan Rasulullah SAW itu dengan perbuatan menyumbangkan darah. Apabila Rasulullah SAW berbekam untuk menghilangkan penyakit dan darah yang diisap keluar itu dibuang saja, maka menyumbangkan darah tentu juga dibolehkan, karena tujuannya tidak hanya sekadar menghilangkan penyakit, bahkan untuk menyelamatkan jiwa orang lain.
a. Hakekat darah
• Darah adalah bagian dari badan (anggota badan)
• Memindahkan darah berarti memindahkan anggota badan
b. Ayat-ayat di Al-Qur’an mengenai darah
إنما حرم عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وما أهل به لغير الله فمن اضطر غير باغ ولا عاد فلا إثم عليه إن الله غفور رحي
“Sesungguhnya Alloh hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih dengan menyebut selain Alloah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas maka tidak ada dosa baginya…….” (Al baqoroh : 173)
فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ ۙ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“ Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah…….”(Al Maidah : 3)
Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, Allah berfirman:
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
“Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkanNya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya” (Al-An’am : 119)
Transplantasi termasuk salah satu jenis pengobatan. Dalam kaidah metode pengambilan hukum disebutkan Al – Ashlu fil mu’amalati al – ibaahah illa ma dalla daliilun ‘ala nahyi (pada prinsipnya, urusan muamalah (duniawi) itu diperbolehkan selama tidak ada dalil baik Al – Qur’an ataupun hadist yang melarangnya). Transplantasi dikategorikan ke dalam urusan muamal (duniawi) yang diperbolehkan. Dengan catatan tidak berakibat membinasakan diri sendiri, tujuan mencari kenikmatan dan kepuasan individual.
Islam memerintahkan untuk saling menolong dalam kebaikan dan mengharamkannya dalam dosa dan pelanggaran. Transplantasi organ tubuh dengan tujuan menghindari kematian dan memulihkan cacat yang menyempitkan kehidupan manusia termasuk ke dalam mashlahah dhururiyah yang dapat dilakukan atas dasar keadaan darurat. Dari banyak ayat – ayat Al – Qur’an dan hadist Nabi, dapat disimpulkan bahwa hal – hal yang sifatnya darurat membolehkan hal – hal yang dilarang.
Jadi, jika menurut perhitungan medis menyumbangkan organ tubuh itu tidak membahayakan pendonor atau penyumbang hukumnya boleh, bahkan dikategorikan ibadah kalau dilakukan secara ikhlas. Namun, bila mencelakakannya hukumnya haram.
HUKUM DONOR DARAH
1. Pandangan ulama terdahulu
Pandangan Ulama terdahulu mengenai transfusi darah yakni memanfaatkan anggota badan adalah haram baik dengan cara jual beli ataupun dengan cara lainnya.
Memanfaatkan anggota badan manusia tidak diperbolehkan.
Ada yang beralasan karena :
a. Najis
b. Merendahkan, alasan kedua adalah alasan yang benar (Al-Fatwa Al-Hidayah)
“Tidak diperkenankan menjual rambut manusia ataupun memanfaatkannya. Karena manusia itu terhormat bukan hina” (Al Murghinani)
Adapun tulang dan rambut manusia tidak boleh dijual, bukan karena najis atau suci, tetapi karena menghormatinya. Menjualnya berati merendahkannya” (Al Kasani) Menjual air susu wanita (BOLEH). Karena susu itu suci dan bermanfaat sehingga Alloh memperbolehkkan untuk meminumnya walaupun tidak dalam keadaan terpaksa (Madzhab, Maliki, Hambali dan Syafi’I) Menjual air susu (HARAM). Karena susu adalah bagian dari anggota badan (Mazhab Hanafi) Ulama terdahulu sangat berhati hati dalam hal perlakuan terhadap anggota badan manusia (manusia merupakan mahluk terhormat dalam pandangan Islam) Pada saat itu belum terpikirkan perkembangan Ilmu kedokteran yang sepesat sekarang.
Menyumbangkan darah kepada orang lain yang amat membutuhkannya, menurut kesepakatan para ahli fikih, termasuk dalam kerangka tujuan syariat Islam, yaitu menghindarkan salah satu bentuk kemudaratan yang akan menimpa diri seseorang. Oleh sebab itulah, ulama fikih menetapkan bahwa perbuatan menyumbangkan darah termasuk dalam tuntutan Allah SWT dalam Surah Al-Maidah (5) ayat 2, “… dan tolong-menolong kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…”
Menurut Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiyah Wal Ifta
Hukum asal dalam pengobatan, hendaknya dengan menggunakan sesuatu yang diperbolehkan menurut syari’at. Namun, jika tidak ada cara lain untuk menambahkan daya tahan dan mengobati orang sakit kecuali dengan darah orang lain, dan ini menjadi satu-satunya usaha menyelamatkan orang sakit atau lemah, sementara para ahli memiliki dugaan kuat bahwa ini akan memberikan manfaat bagi pasien, maka dalam kondisi seperti ini diperbolehkan untuk mengobati dengan darah orang lain.
2. Menurut Pandangan ulama sekarang
a. Mengenai akibat hukum adanya hubungan kemahraman antara donor dan resipien
Menurut Ust. Subki Al-Bughury, adapun hubungan antara donor dan resipien, adalah bahwa transfusi darah itu tidak membawa akibat hukum adanya hubungan kemahraman antara donor dan resipien. Sebab faktor-faktor yang dapat menyebabkan kemahraman sudah ditentukan oleh Islam sebagaimana tersebut dalam An-Nisa:23, yaitu: Mahram karena adanya hubungan nasab. Misalnya hubungan antara anak dengan ibunya atau saudaranya sekandung, dsb. Karena adanya hubungan perkawinan misalnya hubungan antara seorang dengan mertuanya atau anak tiri dan istrinya yang telah disetubuhi dan sebagainya, dan mahram karena adanya hubungan persusuan, misalnya hubungan antara seorang dengan wanita yang pernah menyusuinya atau dengan orang yang sesusuan dan sebagainya.
Serta pada (an-Nisa:24) ditegaskan bahwa selain wanita-wanita yang tersebut pada An-Nisa:23 di atas adalah halal dinikahi. Sebab tidak ada hubungan kemahraman. Maka jelaslah bahwa transfusi darah tidak mengakibatkan hubungan kemahraman antara pendonor dengan resipien. Karena itu perkawinan antara pendonor dengan resipien itu diizinkan oleh hukum Islam.
b. Mengenai Hukum menerima transfusi darah dari non-muslim
Menurut ust. Ahmad sarwat pada hakikatnya tubuh orang kafir bukan benda najis. Buktinya mereka tetap dibolehkan masuk ke dalam masjid-masjid mana pun di dunia ini, kecuali masjid di tanah haram. Kalau tubuh orang kafir dikatakan najis, maka tidak mungkin Abu Bakar minum dari satu gelas bersama dengan orang kafir. Kalau kita belajar fiqih thaharah, maka kita akan masuk ke dalam salah satu bab yang membahas hal ini, yaitu Bab Su'ur.
Di sana disebutkan bahwa su'ur adami (ludah manusia) hukumnya suci, termasuk su'ur orang kafir. Maka hukum darah orang kafir yang dimasukkan ke dalam tubuh seorang muslim tentu bukan termasuk benda najis. Ketika darah itu baru dikeluarkan dari tubuh, saat itu darah itu memang najis. Dan kantung darah tentu tidak boleh dibawa untuk shalat, karena kantung darah itu najis.
Namun begitu darah segar itu dimasukkan ke dalam tubuh seseorang, maka darah itu sudah tidak najis lagi. Dan darah orang kafir yang sudah masuk ke dalam tubuh seorang muslim juga tidak najis. Sehingga hukumnya tetap boleh dan dibenarkan ketika seorang muslim menerima transfusi darah dari donor yang tidak beragama Islam.
c. Donor darah pada bulan ramadhan
Menurut Asy Syaikh Utsaimin, tidak boleh bagi seseorang untuk menyedekahkan darahnya yang sagat banyak dalam keadaan dia sedang berpuasa wajib, seperti puasa pada bulan Ramadhan. Kecuali jika di sana ada keperluan yang darurat (mendesak), maka dalam keadaan seperti ini boleh baginya untuk menyedekahkan darahnya untuk menolak/mencegah darurat tadi. Dengan demikian dia berbuka dengan makan dan minum. Lalu dia harus mengganti puasanya yang dia tinggalkan/berbuka.
d. Syarat Donor dan Transfusi darah Menurut Islam
Syarat Donor dan Transfusi Darah adalah sebagai berikut :
• Tidak menyebabkan kerusakan (kematian pada diri donor)
• Memberikan manfaat (mencegah kerusakan/kematian) pada akseptor
• Donor atau Tranfusi tidak boleh dilakukan bila menyebabkan kematian pada diri donor (darah diambil terlalu banyak), meskipun memberikan manfaat kepada resipien.
• Donor darah dapat mencegah bahaya yang sudah pasti (mencegah kerusakan/kematian resipien)
• Bahaya yang timbul akibat donor atau transfusi dapat di perkirakan
• Perbedaan kerugian yang terjadi dan manfaat yang diperoleh jelas (manfaat lebih besar dari kerugian)
• Donor darah memberikan manfaat yang sangat besar dan termasuk mendonorkan anggota badan yang dapat pulih kembali
• Pendonor tidak akan mendapat kerugian/kerusakan yang berarti, bahkan mendapat manfaat.
• Tranfusi darah tidak sama dengan “memakan darah”
• Kerusakan / kerugian akibat tranfusi dapat diperkirakan dan dicegah dengan adanya kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan.
Syarat Donor Darah Menurut Ulama Fikih
Menurut ulama fikih, kendati darah memegang peranan penting dalam kelangsungan hidup manusia, pemindahan darah seseorang ke tubuh orang iain tidak membawa akibat hukum apa pun dalam Islam, baik yang berkaitan dengan masalah perkawinan maupun yang berkaitan dengan masalah warisan. Dalam hubungan perkawinan, yang saling mengharamkan nikah itu hanya disebabkan adanya hubungan nasab (keturunan), hubungan musaharah (persemendaan), dan hubungan rada’ah (susuan).
Sekalipun ulama fikih sepakat menyatakan bahwa menyumbangkan darah itu hukumnya boleh, namun mereka mengemukakan beberapa syarat bagi pihak donor, di antaranya sebagai berikut:
a. Pihak donor tidak dirugikan ketika transfusi darah dilaksanakan. Artinya, setelah transfusi darah itu orang yang memberikan darah tidak menanggung risiko apa pun akibat donor darah tersebut. Hal ini sesuai dengan kaidah fikih yang menyatakan bahwa “suatu kemudaratan tidak dihilangkan jika menimbulkan kemudaratan lain”, kemudian “menghilangkan kemudaratan itu sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan”. Oleh sebab itu, diperlukan ketelitian para ahli medis untuk menentukan bisa atau tidaknya seseorang menjadi donor darah.
b. Transfusi darah itu dilakukan benar-benar di saat yang amat membutuhkan (darurat), yaitu untuk menyelamatkan nyawa orang lain.
c. Pihak donor tidak menderita penyakit, yang apabila darahnya diberikan kepada orang lain penyakitnya itu akan berpindah kepada penerima darah.
d. Perbuatan menyumbangkan darah itu dilakukan dengan suka- rela, tanpa paksaan dan tanpa bayaran.
2. Transplantasi Organ
Berikut prinsip-prinsip umum fikih (sesaat bisa berubah, dalam keadaan tertentu)
Suatu yang dapat membawa kepada hal-hal yang diharamkan, maka hukummnya haram.
Seseorang yang terpaksa haru memilih antara dua hal yang buruk, maka ia harus memilih yang lebih kecil keburukannya untuk mencegah keburukan yang lebih besar
Sesuatu yang dihalalkan karena alasan tertentu akan menjadi tidak halal jika alasan kehalalannya itu tidak ada lagi
Menngunakan berbagai pilihan untuk halhal yang tidak ada ketentuan fikih tentangnya.
Prinsip-prinsip Islam dalam memandang HARAMNYA Transplantasi dari Organ Manusia:
Kesucian Hidup/Tubuh Manusia
Manusia diperintahkan untuk melindungi dan melestarikan kehidupannya sendiri serta kehidupan orang lain. Sebagai contoh, manusia dilarang melakukan bunuh diri:
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Janganlah kamu membunuh (mebinasakan) dirimu sendiri, karena sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu (Q.S al-Nisa, 4:29)
وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan (Q.S al-Baqarah, 2:195).
Begitu pula Al-Quran mengingatkan manusia tentang dosa mengambil nyawa orang lailn:
مِنْ أَجْلِ ذَٰلِكَ كَتَبْنَا عَلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا ۚ وَلَقَدْ جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ بَعْدَ ذَٰلِكَ فِي الْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.” (Q.S al –Maidah, 5-32)
Dan ada beberapa hadist yang mendukung pandangan ini yaitu:
Nabi saw bersabda:
كَـسَــرَ عَظْــمُ المْـَيِّــتِ كَكَــسْرِهِ حَــيًّـا
“Memecahkan tulang mayat itu sama saja dengan memecahkan tulang orang hidup” (HR. Ahmad, Abu dawud, dan Ibnu Hibban)
”Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membayakan diri orang lain.” (HR. Ibnu Majah).
2. Tubuh Manusia Sebagai Amanah
Al-Quran (al-Isra, 17:70) menytakan kepada kita bahwa Alloh swt. telah memuliakan manusia, yakni menjadikan berguna baginya segala yang ada di langit dan di bumi sebagai anugerah dan kemurahan-Nya. Disebutkan pula dalam Al-Quran bahwa Alloh swt. telah melengkapi manusia dengan segala apa yang dibutuhkannya berkenaan dengan rganorgan tubuh (al-Balad, 90:8-9). Pemahaman ini akan menuntun seseorang pada kesimpulan bahwa manusia tidak memiliki hak untuk mendonorkan satu bagian pun dari tubuhna karena organ-organ tersebut pada dasarnya bukan miliknya, melainkan amanah yang dititipkan kepadanya.
3. Memperlakukan Tubuh Manusia sebagai Benda Material
Ketidakbolehan memperlakukan tubuh manusia sebagai benda material semata dapat dicontohkan sebagai berikut:
Nabi saw. bersabda bahwa Allah swt. mencela atau mengutuk orang yang menggabungkan rambut wanita dengan rambut wanita lain untuk menjadikannya tampak panjang, dan Dia mengutuk wanita yang rambutnya untuk tujuan itu.
”Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membayakan diri orang lain.” (HR. Ibnu Majah).
Sementara dalam Hiayah, disebutkan bahwa wanita diperbolehkan menambah gulungan rambutnya dngan bulu binatang (wol). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa permanfaatan organ tubuh manusia juga dianggap melanggar hukum.
a. Menurut Perspektif Nahdatul Ulama
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan, hukum transplantasi atau cangkok organ tubuh diperbolehkan selama sesuai dengan ketentuan syariat. Sebaliknya, jika tidak memenuhi ketentuan syariat, cangkok organ tak boleh dilakukan.
Ketentuan hukum mengenai cangkok organ tersebut tertuang dalam fatwa yang dikeluarkan MUI pada 2010. Fatwa tersebut menegaskan, pencangkokan yang diperbolehkan jika melalui hibah, wasiat dengan meminta, tanpa imbalan, atau melalui bank organ tubuh. Donor organ tubuh dari orang meninggal juga diperbolehkan dengan syarat kematiannya disaksikan dua dokter ahli.
Transplantasi dihukumi boleh, karena salah satu dasarnya adalah adanya maslahat yang lebih besar. Maslahat itu ditentukan oleh kesaksian tim medis berdasarkan analisis kedokteran yang kuat. "Namun, transplantasi diharamkan bila didasari tujuan komersial. Tidak boleh diperjualbelikan," kata Ketua MUI, Ma'ruf Amin, beberapa waktu lalu.
Ketua Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (NU) Zulfa Musthofa, mengatakan, kesimpulan yang sama diputuskan pula oleh NU. Bahkan, hukum transplantasi tersebut disepakati dalam Muktamar NU.
Kesimpulannya, transplantasi organ tubuh menurut hukum Islam diperbolehkan. Dengan catatan, jelas Zulfa, syarat dan ketentuan syariatnya terpenuhi. Di antara syarat itu adalah persetujuan dari pemilik organ tersebut. “Kalau tidak ada izin itu, tidak boleh.”
Dalam berbagai literatur fikih ditemukan pernyataan para ulama fikih yang tidak membolehkan seseorang memperjualbelikan organ tubuhnya karena hal itu bisa mencelakakan dirinya sendiri. Dari Imam Al – Qarafi (684 H/1285 M) dari kalangan Mazhab Maliki, Imam Badruddin Az – Zarkasyi (745-794 H) dari kalangan Mazhab Syafi’i, dan Ibnu Qudamah dari kalangan Mazhab Hanbali bahwa organ tubuh manusia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari manusia itu sendiri, karena masing – masing organ tubuh mempunyai fungsi yang melekat dengan manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, memperjualbelikan bagiannya sama dengan memperjualbelikan manusia itu sendiri. Memperjualbelikan manusia diharamkan oleh syara’.
Hukum cangkok organ juga dibahas di Forum Bahtsul Masail pada Kongres ke-16 Muslimat NU beberapa waktu lalu. Tiga narasumber tampil memberikan pandangan terkait masalah ini, yaitu Prof Dr KH Ali Mustafa Yaqub MA (Rais Syuriah PBNU Bidang Fatwa yang juga Imam Besar Masjid Istiqlal), Prof Dr Dra Istibsjaroh SH MA (praktisi hukum Islam), dan Dr Imam Susanto (dokter spesialis bedah).
KH Ali Mustafa mengatakan, sebagai sesuatu yang tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW, transplantasi organ tubuh manusia sempat diperselisihkan hukumnya oleh ulama.
Ada pendapat yang membolehkan, ini sesuai dengan hadis Bukhari dan Muslim yang menyebutkan, organ tubuh akan hancur kecuali tulang ekor. “Karena itu, memanfaatkan sesuatu yang apabila tidak dimanfaatkan akan hancur adalah hal yang baik, jadi hukumnya boleh,” kata Mustafa.
Namun, adapula yang mengharamkan. Mereka yang berpendapat seperti ini, salah satunya berpegang pada surat Ali Imran ayat 109 yang intinya menyebutkan, apa saja yang ada di langit dan bumi adalah milik Allah, manusia menggunakan saja. “Jadi, memberikan sesuatu yang tidak kita miliki kepada orang lain hukumnya haram,” jelas Mustafa.
Kedua pendapat ini, menurut dia, saling bertolak belakang. Namun, pendapat yang rajih (kuat) dalam transplantasi organ tubuh adalah pendapat pertama yang memperbolehkan, dengan syarat ada izin dari yang bersangkutan.
Ada 3 tipe donor organ tubuh ;
1. Donor dalam keadaan hidup sehat : tipe ini memrlukan seleksi yang cermat dan pemeriksaan kesahatan yang lengkap, baik terhadap donor maupun resipien untuk menghindari kegagalan karena penolakan tubuh oleh resipien dan untk mencegah resiko bagi donor.
Syara’ membolehkan seseorang pada saat hidupnya dengan sukarela tanpa ada paksaan dari siapapun untuk menyumbangkan organ tubuhnya kepada orang lain yang membutuhkan.
Syarat kemubahan menyumbangkan organ tubuh pada saat seseorang masih hidup yaitu yang disumbangkan bukan merupakan organ vital, dikarenakan penyumbang organ tersebut akan mengakibatkan kematian pihak penyumbang, yang berarti dia membunuh dirinya sendiri. Padahal seseorang tidak dibolehkan membunuh dirinya sendiri atau meminta dengan sukarela kepada orang lain untuk membunuh dirinya. Allah SWT berfirman : “Dan janganlah kalian membunuh diri – diri kalian.” (QS. An Nisaa’ : 29) “…dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan suatu (sebab) yang benar.” (QS. Al An’am : 151)
Demikian pula seorang laki – laki tidak dibolehkan menyumbangkan dua buah testis (zakar), meskipun hal ini tidak menyebabkan kematian, sebab Rasullullah SAW telah melarang pengebirian/pemotongan testis (al khisha’), yang akan menyebabkan kemandulan.
Hukum ini juga diterapkan untuk penyumbangan satu buah testis. Karena nantinya anak yang dilahirkan akan mewarisi sifat dari penyumbang testis yang secara biologis pihak penyumbang testis menjadi bapak mereka. Sebab menyumbangkan satu atau dua buah testis akan menimbulkan pencampuradukan dan penghilangan nasab. Padahal Islam mengharamkan hal ini dan sebaliknya, memerintahkan pemeliharaan nasab.
Imam Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, dia mengatakan bahwa Rasullullah SAW bersabda : “Siapa saja yang menghubungkan nasab kepada orang yang bukan ayahnya, atau (seorang budak) bertuan (loyal/taat) kepada selain tuannya, maka dia akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat dan seluruh manusia.”
2. Donor dalam keadaan koma atau diduga akan meninggal dengan sege. Untuk tipe ini pengambilan organ donor memerlukan alat control kehidupan misalnya alat bantu pernafasan khusus . Alat Bantu akan dicabut setelah pengambilan organ selesai. itu.
Terlebih dahulu harus diketahui hukum kepemilikan tubuh mayat, hukum kehormatan mayat, dan penganiayaan terhadapnya.
a. Hukum kepemilikan mayat
Seseorang yang sudah meninggal tidak dibolehkan menyumbangkan organ tubuhnya dan tidak dibenarkan pula berwasiat untuk menyumbangkannya. Karena itu, seorang dokter atau seorang penguasa tidak berhak memanfaatkan salah satu organ tubuh seseorang yang sudah meninggal untuk ditransplantasikan kepada orang lain yang membutuhkannya.
b. Hukum kehormatan mayat dan penganiayaan terhadapnya
Allah SWT telah menetapkan bahwa mayat mempunyai kehormatan yang wajib dipelihara sebagaimana kehormatan orang hidup. Allah menetapkan pula bahwa menganiaya mayat sama saja dosanya dengan menganiaya orang hidup.
Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Amar bin Hazm Al Anshari RA, dia berkata, “Rasullullah pernah melihatku sedang bersandar pada sebuah kuburan. Maka beliau lalu bersabda : “Janganlah kamu menyakiti penghuni kubur itu!.”
3. Donor dalam keadaan mati. Tipe ini merupakan tipe yang ideal , sebab secara medis tinggal menunggu penentuan kapan donor dianggap meninggal secara medis dan yuridis.
Tipe Donor 1
Donor dalam keadaan sehat. Yang dimaksud disini adalah donor anggota tubuh bagi siapa saja yang memerlukan pada saat si donor masih hidup. Donor semacam ini hukumnya boleh. Karena Allah Swt memperbolehkan memberikan pengampunan terhadap qisash maupun diyat.
Allah Swt berfirman:
فَمَنْ عُـفِيَ لَهُ مِنْ اَخِـيْهِ شَْيئٌ فَـاتـِّبَـاعٌ بِالمَـعْرُوْفِ وَاَدَاءٌ اِلـَيْــهِ بــإِحْــسَـانٍ ذلِكَ تـَخْـفِيفٌ مِنْ رَبــِّكُمْ وَرَحْمَةٌ
Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema`afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema`afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma`af) membayar (diat) kepada yang memberi ma`af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. (TQS al-Baqarah [2]: 178)
Namun, donor seperti ini dibolehkan dengan syarat. Yaitu, donor tersebut tidak mengakibatkan kematian si pendonor. Misalnya, dia mendonorkan jantung, limpha atau paru-parunya. Hal ini akan mengakibatkan kematian pada diri si pendonor. Padahal manusia tidak boleh membunuh dirinya, atau membiarkan orang lain membunuh dirinya; meski dengan kerelaannya.
Allah Swt berfirman:
وَلاَ تـَـقـْـتلُوُا اَنـــْفُسَــكُمْ
Dan janganlah kamu membunuh dirimu. (TQS an-Nisa [4]: 29).
Selanjutnya Allah Swt berfirman:
وَلاَ تـَـقـْـتلُوُا النـّّفْسَ الـَّتِى حـَـرَّمَ الله اِلاَّ بـِـالْحَـــقِّ
Dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. (QS al-An’am [6]: 151)
Sebagaimana tidak bolehnya manusia mendonorkan anggota tubuhnya yang dapat mengakibatkan terjadinya pencampur-adukan nasab atau keturunan. Misalnya, donor testis bagi pria atau donor indung telur bagi perempuan. Sungguh Islam telah melarang untuk menisbahkan dirinya pada selain bapak maupun ibunya.
Allah Swt berfirman:
Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. (TQS al-Mujadilah [58]: 2)
Selanjutnya Rasulullah saw bersabda:
“Barang siapa yang menasabkan dirinya pada selain bapaknya, atau mengurus sesuatu yang bukan urusannya maka atas orang tersebut adalah laknat Allah, Malaikat dan seluruh manusia”.
Sebagaiman sabda Nabi saw:
“Barang siapa yang dipanggil dengan (nama) selain bapaknya maka surga haram atasnya”
Begitu pula dinyatakan oleh beliau saw:
“Wanita manapun yang telah mamasukkan nasabnya pada suatu kaum padahal bukan bagian dari kaum tersebut maka dia terputus dari Allah, dia tidak akan masuk surga; dan laki-laki manapun yang menolak anaknya padahal dia mengetahui (bahwa anak tersebut anaknya) maka Allah menghijab Diri-Nya dari laki-laki tersebut, dan Allah akan menelanjangi (aibnya) dihadapan orang-orang yang terdahulu maupun yang kemudian”.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud Ra, dia berkata:
كُـنـا نَـغْــزُوْا مَعَ النـَّـِبيِّ لـَيْــسَ لـَـنـَا نِسـَـاءٌ ، فَـقــُلْـنـَا : يـَارَسُـولَ الله أَلاَ نَسْـتَخْصِي ؟ فـَـنَـهـَانــَا عَنْ ذَلِك.
“ Kami dulu pernah berperang bersama Rasulullah sementara pada kami tidak ada isteri–isteri. Kami berkat :”Wahai Rasulullah bolehkah kami melakukan pengebirian ?” Maka beliau melarang kami untuk melakukannya,”
Adapun donor kedua testis maupun kedua indung telur, hal tersebut akan mengakibatkan kemandulan; tentu hal ini bertentangan dengan perintah Islam untuk memelihara keturunan.
Tipe donor 2
hukum Islam pun tidak membolehkan karena salah satu hadist mengatakan bahwa ”Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membayakan diri orang lain.” (HR. Ibnu Majah). Yakni penjelasannya bahwa kita tidak boleh membahayakan orang lain untuk keuntungan diri sendiri. Perbuatan tersebut diharamkan dengan alasan apapun sekalipun untuk tujuan yang mulia.
Tipe Donor 3
Menurut hukum Islam ada yang membolehkan dan ada yang mengharamkan. Yang membolehkan menggantungkan pada syarat sebagai berikut:
1. Resipien (penerima organ) berada dalam keadaan darurat yang mengancam dirinya setelah menempuh berbagai upaya pengobatan yang lama
2. Pencangkokan tidak akan menimbulkan akibat atau komplikasi yang lebih gawat
3. Telah disetujui oleh wali atau keluarga korban dengan niat untuk menolong bukan untuk memperjual-belikan
yang tidak membolehkan alasannya :
Seseorang yang sudah mati tidak dibolehkan menyumbangkan organ tubuhnya atau mewasiatkan untuk menyumbangkannya. Karena seorang dokter tidak berhak memanfaatkan salah satu organ tubuh seseorang yang telah meninggal dunia untuk ditransplantasikan kepada orang yang membutuhkan. Adapun hukum kehormatan mayat dan penganiayaan terhadapnya, maka Allah SWT telah menetapkan bahwa mayat mempunyai kehormatan yang wajib dipelihara sebagaimana orang hidup. Dan Allah telah mengharamkan pelanggaran terhadap pelanggaran kehormatan mayat sebagaimana pelanggaran kehormatan orang hidup.Diriwayatkan dari A’isyah Ummul Mu’minin RA bahwa Rasulullah SAW bersabda:
كَـسَــرَ عَظْــمُ المْـَيِّــتِ كَكَــسْرِهِ حَــيًّـا
“Memecahkan tulang mayat itu sama saja dengan memecahkan tulang orang hidup” (HR. Ahmad, Abu dawud, dan Ibnu Hibban)
Tindakan mencongkel mata mayat atau membedah perutnya untuk diambil jantungnya atau ginjalnya atau hatinya untuk ditransplantasikan kepada orang lain yang membutuhkan dapat dianggap sebagai mencincang mayat. Padahal Islam telah melarang perbuatan ini. Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Abdullah bin Zaid Al-Anshasi RA, dia berkata :
نـَهَى رَسُــوْلُ الله عَنِ الـنُّهْـبِي وَالمُـثَـلَّــةِ
“ Rasulullah SAW telah melarang ( mengambil ) harta hasil rampasan dan mencincang (mayat musuh ).”(H.R. Bukhari)
b. Menurut Perspektif Muhammadiyah
Saad Ibrahim menyatakan, transplantasi boleh dilakukan karena kondisi yang darurat. Sebab, bila tidak dilakukan, kemungkinan terburuk, pasien bisa meninggal. ''Secara hukum Islam, hal itu diperbolehkan,'' kata Saad yang juga koordinator Bidang Tadjid dan Tabligh PW Muhammadiyah Jawa Timur tersebut.
''Namun, tingkatannya masih mubah (diperbolehkan, Red), belum menjadi wajib,'' ujarnya. Hal senada diungkapkan Ahmad Munir. Menurut wakil ketua Majelis Tarjih dan Tadjid PW Muhammadiyah itu, manfaat transplantasi membuatnya diperbolehkan.
Namun, kedua pembicara dari PW Muhammadiyah tersebut masih belum bisa memastikan keputusan itu. Sebab, antara manfaat dan keburukan transplantasi perlu ditimbang lagi. ''Terutama juga untuk donor. Kita harus melihatnya dari dua sisi. Jangan dari resipien (penerima) saja,'' kata Munir.
Untuk ginjal, misalnya. ''Apabila satu ginjalnya didonorkan, mampukah seseorang hidup dengan hanya satu ginjal?'' ujarnya.
Hal tersebut, menurut Munir, perlu dipelajari lebih dalam. ''Beberapa jam saja di kajian ini, tentu tidak cukup,'' tegasnya.
Selain itu, pemberian donor dari jenazah menjadi pembicaraan. Beberapa orang berpendapat, meski sudah mati, jenazah masih memiliki hak terhadap tubuhnya. ''Karena itu, perlu meminta izin kepada dia ketika masih hidup,'' ungkap Munir.
Pendapat lain dikemukakan Saad. Menurut dia, mengambil organ dari jenazah bisa dilakukan dengan meminta izin ahli waris. Sebab, yang memiliki otoritas adalah ahli waris. ''Keputusan Lembaga Fikih Rabithah Alam Islami memperbolehkan,'' jelasnya.
Pranawa, salah seorang dokter yang menjadi pembicara, menyatakan bahwa transplantasi sangat membantu resipien. Donor ginjal, misalnya. ''Seorang pasien tak perlu lagi menjalani hemodialisis yang tiap bulannya Rp 10 juta,'' ujar spesialis penyakit dalam itu.
Apalagi, secara medis, manusia masih bisa bertahan hidup hanya dengan satu ginjal. Meskipun begitu, memilih donor tidak bisa sembarangan. ''Harus memenuhi syarat. Yakni, secara sukarela, cocok, dan sehat,'' tegasnya.
Sementara itu, Sjaifuddin berbicara tentang bedah plastik. Teknologi bedah saat ini memungkinkan semua orang untuk memperbaiki penampilan fisiknya. ''Tapi, kalau soal hukum agamanya, saya mengikuti apa yang diputuskan di sini,'' kata ketua tim face-off RSU dr Soetomo itu diikuti tawa para peserta.
Muktamar Tarjih Muhammadiyah Ke-21 di Klaten yang berlangsung pada tanggal 20-25 H, bertepatan dengan tanggal 6-11 April 1980, telah membahas masalah transplantasi ini dan telah memutuskan sebagai berikut :
1. Transplantasi organ adalah ijtihadiyah duniawi, maka hukumnya berputar pada Kuasa-Nya.
2. Berobat adalah wajib hukumnya.
3. Transplantasi dari segi melukai dan merusak jaringan dari organ tubuh hukumnya haram.
4. Ototransplantasi yang donor dan resipiennya satu individu, hukumnya mubah.
5. Homotransplantasi baik living donor maupun cadaver donor karena darurat menurut medis, hukumnya mubah.
6. Semua pencangkokan yang membahayakan baik secara rohani maupun jasmani, hukumnya haram.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
KESIMPULAN
“Sesungguhnya Alloh hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih dengan menyebut selain Alloh. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas maka tidak ada dosa baginya…….” (Al baqoroh : 173)
1. Transplantasi organ tubuh yang dilakukan ketika pendonor hidup sehat diperbolehkan asal organ yang disumbangkan tidak menyebabkan kematian kepada si pendonor
2. Transplantasi organ tubuh yang dilakukan ketika pendonor sakit (koma), hukumnya haram.
3. Transplantasi organ tubuh yang dilakukan ketika pendonor telah meninggal, ada yang berpendapat boleh dan ada yang berpendapat haram.
4. Undang – undang yang mengatur tentang transplantasi organ terdapat dalam UU No. 39 Tahun 2009 pasal 64 – 70
DAFTAR PUSTAKA
http://makalahmajannaii.blogspot.com/2013/02/transfusi-darah-menurut-pandangan-islam.html
http://0sprey.wordpress.com/2013/05/29/donor-darah-ditinjau-dari-perspektif-agama-islam/
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/11/07/15/lodpqn-transplantasi-organ-tubuh-jadi-bahasan-muslimat-nu
http://indonesiaindonesia.com/f/13695-transfusi-darah/
http://anggie-myblog.blogspot.com/2011/04/transplantasi-organ-tubuh.html
http://keperawatanreligionirvan.wordpress.com/
http://keperawatanreligiondinnyria.wordpress.com/
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH BANJARMASIN
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
0 komentar:
Posting Komentar